Syaikh Ahmad Izzah Al-Andalusy, Seorang Algojo Yang Menjadi Ulama Besar

Assalamualaiikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Sahabat Trensami Assalaam yang dirahmati Allah, alkisah pada suatu hari pada tahun 1525, penjara tempat orang tahanan terasa hening mencengkam. 
Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis sedang melakukan inspeksi dan memeriksa setiap kamar tahanan.

Ilustrasi Arsitektur Islam di Andalusia


Setiap sipir penjara yang sedang berjaga membungkukkan badannya rendah -rendah ketika orang yang dikenal sangat kejam itu berlalu di hadapan mereka. Karena jika tidak membungkukkan bada, sepatu militer milik tuan Roberto itu dapat dipastikan mendarat di wajah mereka.

Di tengah pemeriksaan para tahanan, Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar sayup sayup terdengar seseorang sedang melantunkan ayat - ayat suci Al Quran yang sangat dia benci.

Di depan sel tahanan Roberto berteriak kepada sosok tua yang sedang khusyu' membaca Al Quran. "Hai....hentikan suara jelekmu ! Hentikan !!!" teriak Roberto sekeras - kerasnya sembari memukul - mukul pintu besi sel tahanan dengan tongkat yang dia bawa.

Tetapi rupanya teriakan Roberto tidak digubris, laki - laki di kamar tahanan itu  masih tetap melantunkan ayat demi ayat dengan khusyu' yang membuat amarah Roberto semakin memuncak. Algojo penjara itu membuka pintu besi dan menghampiri pria tua dengan berapi - api.
Dengan congkak Roberto menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Sungguh ajaib, meski menerima siksaan dari Roberto tak terdengar secuil pun keluh kesakitan dari tahanan itu. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan pada sang algojo, bibir keringnya hanya berkata lirih, "Rabbi, wa-ana 'abduka."

Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz, Insyaa Allah tempatmu di surga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, amarah algojo penjara itu semakin memuncak. Ia menarik tubuh orang tua itu keras -keras hingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk, bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu ?! Aku tidak suka apapun yang berhubung dengan agamamu ", teriak Roberto.

Sang Ustadz lalu berucap lirih, "Sungguh aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-Nya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk ? Jika aku menuruti perintahmu tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh !"

Baru saja kata - kata itu terhenti, sepatu Roberto sudah mendarat di wajah laki - laki renta itu, terhuyung dan jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Saat laki - laki itu terjatuh, dari saku baju penjaranya yang telah lusuh meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya, tetapi tangan tua sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat - erat.

"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini !" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu besarnya dia gunakan untuk menginjak jari - jari tangan sang ustadz yang telah lemah diiringi suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Tahanan lain yang menyaksikan diam tidak dapat berbuat apa - apa. 

Tetapi Roberto, laki - laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang jari jari yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari - jari musuhnya yang hancur.

Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh itu. Mendadak algojo itu termenung.

"Ah... sepertinya aku pernah mengenal buku ini, tapi kapan ? kata Roberto dalam hati. Ya, aku pernah mengenal buku ini," suara hati Roberto bertanya - tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama buku itu.

Laki - laki yang berumur tiga puluh tahunan itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan - tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu ketika dia masih kecil. Tetapi sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol. 

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang telah melepas nafas - nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.
Mata Roberto rapat terpejam, dia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. 

Perlahan sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Laki - laki itu teringat ketika suatu sore di masa kanak - kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya. Sore itu ia menyaksikan sebuah peristiwa yang mengerikan di sebuah lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia. Saat itu, di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa,  beribu - ribu jiwa kaum muslimin tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia.

Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita yang mengenakan jilbab digantung pada tiang - tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar - kibar di udara. Sementara itu, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup - hidup pada tiang - tiang salib, hanya karena tidak mau mengakui dan mempercayai agama yang dibawa oleh para rahib.

Di tengah kejadian itu, malam mulai tiba dan seorang bocah laki - laki berumur tujuh tahunan masih berdiri tegak di lapangan yang telah senyap. Korban - korban kebiadaban pembantaian itu bergelimpangan bersimbah darah.
Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ibu yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti baju lusuh yang dikenakan ibunya.

Sang bocah itu menangis dan memanggil - manggil ibunya dengan suara parau, "Ummi ... ummi ... mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa Ummi, cepat pulang ke rumah Ummi"

Bocah kecil itu semakin keras tangisnya ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi ... Abi ... Abi ..."
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... Siapa kamu ?" teriak segerombolan orang yang tiba - tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi," jawab sang bocah memohon belas kasih.

"Hah... Siapa namamu bocah ? Coba ulangi !" bentak salah seorang dari mereka.
"Saya Ahmad Izzah," sang bocah kembali menjawab dengan lirih.
Tiba - tiba, "plak!”, sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
"Hai bocah...! Wajahmu tampan tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang lebih bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'.

Awas ! mulai sekarang jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh !" ancam laki-laki itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki -laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan pembantaian. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sadar dari renungannya yang panjang, dia melompat ke arah tahanan yang baru saja dihajarnya. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh renta itu. Roberto mencari - cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi ... Abi ... Abi ..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.

Pikiran Roberto terus bergelut dengan masa lalunya, dia masih ingat betul bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik ayahnya  yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Roberto juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusar.

Laki - laki beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta yang semakin lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah puluhan tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi ... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa " dan hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat air mata Roberto yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya dengan kejam yang kini tengah memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu ..." terdengar suara Roberto memelas.

Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata - kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya yang hilang. Sungguh tak masuk akal dan ini semata - mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah  berucap, "Anakku, pergilah engkau ke Mesir, di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu."
Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah, "Asyhadu Alla Ilaha Illallah waasyhadu anna muhammadar rasulullah. Sang ustadz pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.

Sejak saat itu Roberto keluar dari penjara dan memakai lagi nama indah pemberian ayahnya. Dia belajar agama sesuai pesan ayahnya. Ahmad Izzah belajar dan mendalami Islam dengan sungguh - sungguh hingga akhirnya dia menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya. 

Sejak saat itu ia dikenal sebagai Syaikh Ahmad Izzah Al-Andalusy. Gelarnya, Al-Andalusy merupakan julukan yang diberikan gurunya karena ia berasal dari negeri Andalusia.


(NE/072023)
Diolah dari berbagai sumber
 

Pesantren Sabtu Minggu Bismillah